Monday, June 22, 2009

Rekomendasi Semiloka ABK SNI

REKOMENDASI

Pada pelaksanaan Semiloka Penyusunan Anggaran Biaya Bangunan Berbasis SNI "Analisa Biaya Konstruksi" BSN-2008 yang dilaksanakan oleh LPJKD-SU di Universitas Darma Agung tanggal 5 Maret 2009 telah disimpulkan makalah-makalah bahan diskusi semiloka yang masing-masing bersumber dari oleh :
1. Hand Book Standar Nasional Indonesia Badan Standarisasi Nasional 2008 / Hand Book SNI-ABK 2008.
2. Perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) bangunan oleh Dinas Sumber Daya Air (SDA).
3. Penyusunan anggaran biaya bangunan oleh Dinas Bina Marga.
4. Penyusunan Anggaran Biaya Bangunan Berbasis Analisa SNI dan Analisa BOW oleh Dinas Penataan Ruang dan Permukiman (Tarukim)
5. Penyusunan Anggaran Biaya pada Bangunan Swasta
6. Mekanisme Penentuan Harga, Perguruan Tinggi

Ringkasan dari masing-masing makalah tersebut adalah seperti di bawah ini :
1. Hand Book Standar Nasional Indonesia Badan Standarisasi Nasional 2008/Hand Book SNI-ABK 2008.
· SNI ini hanya untuk bangunan Gedung dan Rumah Sekolah
· Berisi 14 Jenis Kelompok pekerjaan terdiri dari 465 jenis pekerjaan konstruksi.
· Mengacu kepada Analisa Burgerlijke Openbare Werken ( BOW ) Thn.1921 , Data Sekunder dari BUMN dan Kontraktor .
· Perhitungan dengan menggunakan SNI- ABK merupakan perhitungan harga dasar dan belum memperhitungkan biaya mananjemen lapangan dan keuntungan.
· Survey yang dilaksanakan di 10 kota di Indonesia.
· Elemen bangunan hasil fabrikasi tidak tercakup dalam SNI ini, misalnya tiang pancang.
· Penyusunan SNI diputuskan berdasarkan metode Konsensus.

2. Perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) bangunan oleh Dinas Sumber Daya Air (SDA).
· Belum mempunyai standar / aturan baku tentang penyusunan harga satuan.
· Menggunakan Analisa BOW / SNI bila Jenis Pekerjaan Konstruksi yang ada pada pekerjaan tersebut diatur pada Analisa BOW / SNI
· Untuk Jenis Pekerjaan Konstruksi yang tidak ada dalam SNI , disusun analisa tersendiri dengan menggunakan mekanisme Skema Penyusunan RAB. Skema ini disusun berdasarkan masukan dari, Gambar Kerja ; Spesifikasi Teknis ; Metode Kerja dan Lokasi Pekerjaan maupun Quarry .
· Dalam Rekapitulasi Daftar Kuantitas dan Harga disebut bahwa dalam Jumlah Harga sudah termasuk Biaya Umum dan Keuntungan

3. Penyusunan anggaran biaya bangunan oleh Dinas Bina Marga
· Panduan Analisa Harga Satuan (PAHS), Versi 2,0. sesuai Surat Edaran Direktorat Jenderal Bina Marga No.04/S2/DB/2008. Perihal Panduan Analisa Harga Satuan edisi Desember 2006.
· Pada komponen Harga Satuan Pekerjaan , komponen Harga Satuan Pekerjaan adalah :
o Biaya Langsung, terdiri dari Bahan (bahan dasar; bahan olahan; bahan jadi) , Alat (alat berat; AMP dll ) dan Tenaga Kerja (keahlian; jumlah ; kesulitan waktu dll)
o Biaya Tidak Langsung, terdiri dari Biaya Umum/Overhead (kantor; pegawai lap; manajemen; travel dll)
o Keuntungan (termasuk Risiko)

4. Penyusunan Anggaran Biaya Bangunan Berbasis Analisa SNI dan Analisa BOW oleh Dinas Penataan Ruang dan Permukiman (Tarukim)
a. Perbandingan antara Analisa Harga Satuan Pekerjaan Analisa BOW dengan Analisa SNI . 2008
b. SNI tidak mencantumkan keuntungan
c. SNI hanya mencantumkan satuan upah dan bahan tetapi tidak mencantumkan indeks pemakaian alat.

5. Penyusunan Anggaran Biaya pada Bangunan Swasta
a. Menghitung Analisa Harga Satuan Pekerjaan dengan Perhitungan Sendiri.
b. Banyak menggunakan komponen bangunan hasil fabrikasi.
c. Struktur Anggaran Biaya Bangunan mencantumkan Biaya Langsung, Manajemen Fee, Biaya Test & Comisioning, Biaya Umum dan Provisional Sum ( Keuntungan).

6. Mekanisme Penentuan Harga, Perguruan Tinggi
· Pendekatan pengukuran Indeks Satuan Tenaga Kerja dengan Time and Motion Study Pendekatan perhitungan waktu pelaksanaan pekerjaan
o Pendekatan pengukuran kualitas keterampilan orang
o Pendekatan perhitungan produktivitas Tenaga Kerja
· Pendekatan Biaya Tenaga Kerja dengan menggunakan
o Method Study
o Work Measurement


Pada sesi berikutnya diadakan diskusi atas makalah-makalah tersebut, diperoleh catatan sebagai isu impelementasi seperti berikut ini.
SNI
· SNI – ABK disusun berdasarkan data sekunder dari mengacu kepada Analisa Burgerlijke Openbare Werken (BOW) Thn.1921, Data Sekunder dari BUMN, Kontraktor. Kenapa BOW masih dipakai sbg acuan karena BOW sudah out of date.
· Belum kelihatan pembiayaan atas para tenaga ahli dan manejemen pelaksana.
· SNI belum/tidak membicarakan tentang pemakaian, penggunaan komponen bangunan hasil fabrikasi seperti, BRC, Kosen; Daun Pintu. Untuk bahan bahan hasil fabrikasi, perlu juga dibuat SNI nya, paling tidak analisa untuk memasang / bukan membuat.
· Pelaksanaan survey dan study time and motion, sebaiknya dilaksanakan di banyak kota di Indonesia yang mewakili seluruh strata geografis, (bukan hanya di 10 kota besar di Indonesia)
· Penetapan SNI berupa konsensus menjadi mengaburkan hasil study.
· SNI–ABK tidak / belum mencantumkan struktur Anggaran Biaya Bangunan secara utuh, dimana biaya manajemen lapangan / tenaga ahli , tidak dibiayai melalui SNI, demikian juga biaya tidak langsung lainnya.

SDA
· Penyusunan analisa harga satuan belum baku, sehingga antara pengguna jasa dan penyedia jasa akan ada kemungkinan memakai formula yang tidak sama.
· Dalam struktur Anggaran Biaya Bangunan oleh Dinas Sumber Daya Air , dicantumkan adanya Biaya Umum dan Keuntungan pada Jumlah Harga Biaya Bangunan, namun tidak eksplisit.

BINA MARGA
· Dalam Penyusunan Anggaran Biaya Bangunan oleh Bina Marga dalam ”Komponen Harga Satuan”, disebut adanya kebebasan menyusun Analisa Harga Satuan dan Cara Kerja sebagai Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Apakah PAHS ver 2,0 sudah dipakai bersama antara penyedia dan pengguna jasa.
· Bagaimana kedudukan PAHS versus SNI.

BANGUNAN MULTISTORIES/SWASTA
· Penyusunan Anggaran Biaya Bangunan Swasta, umumnya disusun berdasarkan pengalaman dan tidak mengacu kepada kepada SNI.
· Menyebut adanya biaya langsung , biaya tidak langsung dan keuntungan.

DINAS TARUKIM
· Dalam penyusunan Anggaran Biaya Bangunan oleh Dinas Tarukim, menyatakan adanya perbedaan koefisien antara SNI dan BOW .
· SNI tidak mercantumkan keuntungan
· Bagaimana kalau lonjakan harga ditemukan dalam proses pengadaan pekerjaan

Berdasarkan isi makalah dari dari hasil diskusi pada semiloka ini, maka tim perumus menyusun rekomendasi semiloka dalam lembar rekomendasi sebagai berikut :

1. Pemerintah daerah , tim SNI BALITBANG Dep. PU
Agar diperoleh harga Biaya Bangunan yang terukur, tepat , pantas dan transparan, maka sangat perlu adanya Pedoman Umum Penyusunan Anggaran Biaya Bangunan yang ditampilkan secara eksplisit meliputi:
a. BIAYA LANGSUNG, terdiri dari kumpulan Harga Satuan Pekerjaan .
b. BIAYA TIDAK LANGSUNG/BIAYA UMUM, antara lain terdiri dari Over head, Biaya Manajemen Lapangan, Test & Comissioning, Asuransi dll, PROFIT, terdiri dari Risiko dan Keuntungan, Sehingga dengan demikian diperoleh pemahaman dan pengertian yang sama bagi semua pemangku kepentingan, terutama untuk bangunan yang dibiayai oleh dana pemerintah.
Disamping itu para pemangku kepentingan masing masing memiliki keyakinan atas legal aspek sebuah Anggaran Biaya Bangunan.
Bila usulan menyusun Pedoman Anggaran Biaya belum dapat direalisasi pada saat sekarang ini , hendaknya Pemerintah membuat Surat Edaran untuk itu. Sebelum ketentuan SNI ditetapkan dengan surat keputusan dimintakan kepada Pemprovsu untuk memberlakukan SNI dengan usulan tambahan sebagaimana tersebut diatas
Dalam hal satuan pekerjaan yang tidak tercantum dalam SNI maka dibutuhkan metode pelaksanaan dan analisa tersendiri, perlu dibuat pedoman / aturan agar analisa tersebut dapat digunakan sebagai ketetapan hukum ( legal aspek )

2. BSN
· Perlu ada pengujian laboratorium tentang besaran indeks atas Tenaga Kerja ; Bahan ; Peralatan. Paling tidak atas bebrapa jenis pekerjaan yang dominan yang mewakili masing masing kelompok satuan pekerjaan, guna memperoleh validitas.
· Perlu adanya ketetapan hukum ( legal aspek ) penggunaan SNI.secara resmi. dan menyatakan status analisa BOW dalam ketetapan hukum dimaksud.
· Perlu disebut di SNI bahwa Analisa Harga Satuan di SNI adalah Biaya Langsung, belum termasuk Biaya Tidak Langsung dan Profit.
· Pelaksanaan survey dan study time and motion , sebaiknya dilaksanakan di banyak kota di Indonesia yang mewakili seluruh strata geografis, ( bukan hanya di 10 kota besar di Indonesia )

3. PERGURUAN TINGGI
Perguruan tinggi perlu memasukkan SNI dalam kurikulum , agar pemahaman tentang SNI dan aturan-aturan yang ada didalamnya dipahami oleh para mahasiswa. Dengan demikian para lepasan perguruan tinggi akan mempunyai wawasan yang sama atas struktur Anggaran Biaya Bangunan berdasarkan SNI.

4. LPJK
Masyarakat jasa konstruksi Sumatera Utara meminta kepada LPJK untuk menindaklanjuti hasil-hasil Semiloka kepada Pemerintah Daerah dan Pusat.

Monday, June 15, 2009

K3 KONSTRUKSI

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)
PADA PEKERJAAN KONSTRUKSI

A. PENDAHULUAN
Pekerjaan konstruksi merupakan salah satu bidang pekerjaan yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia baik tenaga ahli, tenaga terampil maupun tenaga tidak terampil. Pada pekerjaan konstruksi yang melibatkan begitu banyak pekerja seringkali terdengar berbagai macam kecelakaan pada saat bekerja. Kecelakaan-kecelakaan kerja pada umumnya terjadi akibat kurangnya perhatian dan kepedulian para pengusaha tentang pengelolaan dan penerapan aturan-aturan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di samping kurangnya kesadaran pekerja akan keselamatan kerja dan kelalaian pekerja yang bersangkutan.

Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi sebenarnya bisa dihindari atau dikurangi, jika peraturan keselamatan dan kesehatan kerja benar-benar diterapkan dan dipatuhi dalam lingkungan pekerjaan. Para pekerja di bidang konstruksi harus menyadari bahwa pekerjaan konstruksi mempunyai resiko kecelakaan yang cukup tinggi. Dengan kondisi demikian, maka pekerja harus bekerja dengan hati-hati, dengan mengikuti prosedur yang berlaku pada pekerjaan tersebut. Pekerja harus menggunakan pakaian dan perlengkapan keselamatan kerja, dan senantiasa memperhatikan rambu-rambu keselamatan dan kesehatan kerja.

B. ARTI DAN FUNGSI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut K3, adalah suatu konsep tentang cara kerja yang aman dan sehat di lingkungan pekerjaan, seperti di pabrik, bengkel, pekerjaan konstruksi dan sebagainya yang diatur dalam bentuk perundang-undangan. Kegunaan K3 pada suatu lingkungan pekerjaan pada dasarnya adalah untuk melindungi/menghindarkan tenaga kerja dari kecelakaan atau penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaan yang dilakukannya. Setiap pekerjaan sudah tentu mengandung resiko/bahaya yang sewaktu-waktu dapat menimpa setiap tenaga kerja. Sekecil apapun resiko/bahaya tersebut tentunya akan menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap diri pekerja, seperti cacat tubuh yang dapat menghilangkan kesempatan kerja atau bahkan kematian.

Perusahaan sebagai pengguna tenaga kerja harus memberikan penyuluhan/bimbingan tentang K3 kepada tenaga kerja secara terus menerus, menyediakan sarana/perlengkapan K3 dan mengawasi pelaksanaan peraturan K3 di lingkungan kerja yang ditanganinya. Namun demikian peraturan K3 tentunya tidak hanya harus dilaksanakan oleh perusahaan, tetapi juga oleh tenaga kerja yang bersangkutan. Sebagai objek utama tenaga kerja harus memiliki kesadaran akan pentingnya menerapkan aturan K3, sehingga bisa bekerja dengan aman, selamat dan sehat.

C. ORGANISASI K3
Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum No. KEP. 174/MEN/086-No. 1041/KPTS/1986, yang ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/SE/M/2005 pada setiap Provinsi wajib membentuk Tim Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Pada Keputusan dan Surat Edaran tersebut di atas, susunan organisasi K3 termaksud digambarkan.
Catatan :
Tim Pembina dibentuk jika jumlah pekerja lebih dari 100 orang atau kondisi dari sifat pekerjaan memang memerlukan

Uraian kewajiban Kontraktor dan Tugas Safety Officer
a. Kewajiban Kontraktor
1) Kontraktor diwajibkan melaksanakan/mengusahaan agar tempat kerja, peralatan dan lingkungan diatur sedemikiam rupa supaya tenaga terlindung dari resiko kecelakaan
2) Kontraktor harus menjamin bahwa semua peralatan termasuk mesin-mesin/alat-alat memenuhi persyaratan K3 Konstruksi
3) Kontraktor harus menunjuk petugas K3 Konstruksi di lokasi pekerjaan yang disebut Safety Officer
4) Kontraktor harus memberi petunjuk kepada tenaga kerja dengan penerangan, penjelasan, gambar atau slogan-slogan dan surat-surat lain untuk mencegah terjadinya kecelakaan
5) Kontraktor memikul biaya dalam rangka penyelenggaran K3 Kontruksi

b. Tugas Safety Officer
1) Petugas K3 Konstruksi harus bekerja penuh secara fulltime
2) Membuat perencanaa dan program pelaksanaan K3 Konstruksi di Proyek
3) Melakukan penyuluhan dan Pembinaan informasi serta latihan tentang K3 Konstruksi
4) Mengawasi pelaksanaan pekerjaan Konstruksipada proyek apakahsudah sesuai dengan planning K3 KOnstruksi yang dibuat
5) Mencegah terjadinya kecelakaan dan gangguan kecelakaan

D. PERLENGKAPAN DAN LINGKUNGAN KERJA
D.1. Perlengkapan Kerja
Pakaian dan perlengkapan K3 berfungsi untuk mlindungi diri agar tidak mengalami cedera akibat kerja. Dalam rangka menghindarkan dan memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan atau penyakit akibat kerja, maka tenaga kera perlu melengkapi diri dengan pakaian dan perlengkapan K3 yang sesuai dengan bidang pekeraan yang ditekuninya serta persyaratan yang berlaku. Pakaian dan perlengkapan K3 yang harus digunakan pada pekerjaan konstruksi adalah seperti berikut :

1. Sabuk Pengaman (Safety Belt )
Sabuk pengaman merupakan perlengkapan yang sangat penting dan arus digunakan terutama pada saat melakukan pekerjaan pada ketinggian lebih dari 3 meter. Sabuk pengaman dipasang pada pinggang seperti ikat pinggang biasa dan mengikatkan bagian talinya kepada bagian konstruksi yang diperkirakan cukup kuat dan dapat menahan beban manusia, sehingga jika pekerja terpeleset tidak akan langsung jatuh akan tetapi dapat tertahan oleh sabuk pengaman sehingga terhindar dari kecelakaan yang lebih fatal.

2 Topik Keras (Helm)
Topi keras (helm) sangat berguna untuk melindungi kepala dari benturan benda-beda yang mungkin jatuh, untuk itu topi keras (helm) harus dipilih yang baik mutunya.

3. Sarung Tangan
Sarung tangan digunakan untuk menghindarkan kulit tangan dengan luka akiat serpihan besi.batu-batu tajam atau cairan semen dari adukan. Pengguaan sarung tangan harus sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan

4. Sepatu Kerja
Sepatu kerja digunakan untuk melindungi kaki dari luka akibat terjepit, benda-benda tajam dan sejenisnya. Penggunaan sepatu juga harus sesuai dengan jenis pekeraan yang dilakukan.

5. Penutup Hidung (Masker)
Penutup hidung (Masker) digunakan pada saat bekerja pada daerah yang berdebu atau yang mengandung unsur kimia seperti debu semen yang dapat menimbulkan gangguan pernapasan.

6. Kaca Mata
Kaca mata harus digunakan pada saat melakukan pekerjaan-pekerjaan khusus, seperti: memecah batu, mengelas, mengerinda dan sebagainya.

7. Pelindung Telinga
Pelindung telinga harus digunakan pada lingkungan pekeraan yang bising dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

8. Pakaian Las
Pakaian yang dikenakan juga harus dipilih yang kira-kira tidak terlalu ketat juga tidak terlalu longgar. Pakaian yang terlalu ketat akan menyulitkan pada saat memanjat, sedangkan pakaian yang terlalu longgar dapat tersangkut pada bagian-bagian tertentu, sehingga dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Pada pekerjaan khusus seperti pekeraan las biasanya digunakan pakaian khusus (apron) yang melindungi badan dari percikan akibat las.

D.2. Lingkungan Kerja
1. Fasilitas Kerja
Pekerjaan konstruksi termasuk pekerjaan berat/pekerjan kasar serta banyak pekerjaan yang harus dilaksanakan di suatu tempat dengan menggunakan berbagai peralatan dan semua jenis pekerjaan pada umumnya harus disesuaikan dalam waktu yang sangat singkat. Walaupun demikian pekerjaan konstruksi harus tetap dilakukan secara teliti dan cermat.

Dari uraian tersebut, mudah dibayangkan bahwa orang-orang yang bekerja pada pekerjaan konstruksi di samping memerlukan tenaga yang banyak, memerlukan tenaga yang banyak, memerlukan pula konsentrasi pikiran dan kesabaran yang tinggi. Tuntutan tersebut tidak terdukung oleh situasi yang serba sibuk, komplek, berat, kasar, kotor dan mudah timbul tindakan emosional. Oleh karena itu banyak orang memperhatikan tentang produktivitas kerja dan K3, dengan menampung pekerja dalam barak-barak hunian atau asrama. Untuk itu maka kontraktor wajib menyediakan barak/bedeng/asrama pekerja. Dengan pertimbangan factor transport dan tersedianya lahan, maka barak/bedeng biasanya dibuat pada lahan pekerja proyek. Dalam menentukan lokasi barak perlu pertimbangkan barak/bedeng/asrama perlu adanya pemisah yang tegas antara dengan lahan kerja.

Sebagai contoh :
1) Barak sekalipun merupakan bangunan sementara namun harus dibuat dengan konstruksi yang kokoh tidak mudah terbakar.
2) Barak dilengkapi dengan MCK yang cukup serta sistem pembuangan air yang baik.
3) Harus disediakan air bersih yang cukup untuk memasak dan mandi serta keperluan lainya.
4) Apabila pekerja memasak sendiri harus disediakan dapur yang aman terhadap kebakaran/tidak mudah terbakar.
5) Lingkungan dan barak harus dijaga dalam keadaan tetap bersih dan rapi
6) Untuk menjaga ketertiban perlu dibentuk organisasi penghuni, semacam pengurus RT

2. Fasilitas Istirahat
Istirahat adalah suatu kebutuhan manusia. Orang bukan alat, atau mesin yang dapat dipacu untuk bekerja terus menerus. Orang perlu istirahat. Istirahat fungsinya untuk menghilangkan capek atau untuk memulihkan kesehatan. Waktu istirahat biasanya panjang dan diberikan sekaligus pada waktu makan siang, yaitu jam 12.00 – 13.00.

Pada umumnya kita kurang memperhatikan maksud memberi waktu istirahat. Salah satu contoh nyata adalah tidak memberikan tempat untuk istirahat. Akibat tiadanya tempat istirahat, pekerja istirahat dimana saja, seperti dibawah pohon, di sela-sela tumpukan bahan, di kolong alat berat dan sebagainya. Cara istirahat semacam itu selain tidak nyaman, juga berbahaya. Tidak nyaman artinya pemulihan kemampuan tidak maksimal, yang berakibat pada menurunnya produktivitas. Cara istirahat yang berbahaya berakibat pada timbulnya banyak kecelakaan. Keuntungan dan kerugian bila Kontraktor menyediakan atau tidak menyediakan tempat istirahat:
· Pekerja akan istirahat di suatu tempat sehingga mudah diatur.
· Akan memberi citra yang baik bagi kontraktor.
· Dapat dipergunakan pertemuan dengan karyawan.
· Pekerja istirahat disembarang tempat sehingga sukar dicari dan bias menimbulkan bahaya
· Akan merusak citra kontraktor seolah olah hanya mencari untung
· Karyawan dan pekerja merasa tidak dihargai, akibatnya akan bekerja seadanya
· Tidak ada fasilitas untuk pertemuan bersama
3. Fasilitas Sanitasi
Fasilitas sanitasi yang dimaksud adalah kamar mandi, cuci, kakus (MCK) .
1) Tempat mandi/kamar mandi
a) Fasilitas ini diperlukan untuk mandi para pekerja sehabis bekerja.
b) Kamar mandi harus dibuat tertutup supaya tidak ada kesan senonoh
c) Bila ada pekerja wanita, harus dibuatkan kamar mandi khusus untuk wanita yang letaknya berjauhan dengan kamar mandi untuk kaum laki-laki
d) Kamar mandi dirancang mudah merawatnya dan dijaga agar tetap bersih

2 ) Tempat Cuci
Bekerja di tempat kontruksi adalah kotor dan sering menggunakan bahan yang berbahaya. Oleh karena itu proyek menyediakan fasilitas cuci. Sebaiknya ditempat cuci dibuatkan kran-kran air. Jumlah kran harus cukup, disesuaikan dengan jumlah pekerja.

Kran-kran cuci digunakan untuk :
a) Cuci tangan sebelum makan
b) Cuci anggota tubuh yang terkena kotoran, abu atau bahan yang berbahaya
c) Mengambil air wudhu sebelum sholat

3) Fasilitas cuci harus dibuat :
a) Jumlah tempat cuci cukup
b) Selalu tersedia air
c) Mudah dirawat
d) disediakan Sabun
e) Kondisi selalu terjaga bersih

4) WC dan tempat buang air
Ditempat bekerja harus tersedia WC dan tempat buang air antara lain harus :
a) WC dan tempat buang air harus tersedia dalam jumlah yang cukup
b) Selalu tersedia air yang cukup
c) Terjag kebersihannya

4. Makanan
Makanan merupakan kebutuhan pokok pekerja. Oleh sebab itu makanan harus bersih dan bergizi, antara lain perlu perhatian terhadap makan yang bergizi, bersih dan cukup takaran. Kontraktor harus menyediakan makanan yang bergizi dan bersih. Dalam hal ini kontraktor perlu melakukan pembinaan kepada para pedagang makanan dan minuman di sekitar proyek, supaya senantiasa menjaga kebersihan dan kesehatan.

Tetapi sebagian kontraktor jarang menyediakan makan siang untuk para pekerja. Para pekerja biasanya mencari makanan pada pedagang makan diluar lokasi diluar proyek. Keadaan ini tidak baik karena :
1) Ada kesan bahwa kontraktor hanya semata butuh tenaga dari tenaga kerja
2) Ada kesan bahwa di sekitar proyek kesemrawutan (proyek tidak tertutup )
3) Ada kesan bahwa kontraktor tidak memberi makanan dan minuman kepada para pekerja
4) Ada kesan bahwa kontraktor tidak menyediakan tempat makan dan minum/barak dan dapat mengundang para pedagang makanan membuka warung makanan di tempat kerja
5) Makanan yang dijajakan oleh para pedagang belum tentu bersih

5. Minuman
Pekerjaan dibangunan adalah pekerjaan yang memerlukan tenaga kuat dan keras. Oleh sebab itu para pekerja banyak sekali memerlukan air minum, dan kontraktor semestinya menyediakan air minum yang cukup bagi para pekerja :
Penyedian air minum meliputi ;
1. Lokasi tempat minum ( tidak terlalu jauh dari tempat kerja )
2) Tersedianya tempat air minum yang cukup
3) Tersedianya tempat minum/cangkir yang cukup jumlahnya
4) Kualitas air harus memenuhi syarat untuk di minum

6. Fasilitas Hiburan dan Olahraga
Pada proyek-proyek yang terpencil, jauh dari pemukimam, sebaiknya para Kontraktor menyediakan fasilitas hiburan dan olahraga kepada para pekerja.Seperti contoh tersedianya lapangan bola,volley,bulu tangkis dan sarana olah raga lain serta tempat hiburan. Hal ini sangat mendukung sekali bahwa Kontraktor dapat menciptakan suasana kerja yang nyaman dan sehat bagi para pekerja.

E. APLIKASI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Kecelakaan yang sering terjadi pada pekerjaan konstruksi pada umumnya adalah jatuh dari ketinggian, tertimpa benda-benda jatuh dan terbentur benda-benda kerja yang kemungkinan yang diakibatkan oleh kelalaian, kecerobohan dan keengganan pekerja untuk menggunakan pakaian dan perlengkapan K-3. Hal-hal tersebut di bawah merupakan peringatan bagaimana harusnya seseorang bekerja agar terhindar dari kecelakaan.

1. Perancah dan Tangga Sementara
Perancah dan tangga sementara diperlukan pada pekerjaan yang mempunyai ketinggian di luar jangkauian tangan manusia. Dengan digunakannya perancah serta tangga sementara, maka pekerja dapat melakukan tugasnya secara aman. Untuk dapat membuat perasaan aman dan tenteram bagi pekerja, maka dalam pelaksanaan pekerjaan dengan menggunakan bantuan perancah dan tangga sementara, harus diperhatikan hal-hal seperti berikut ;
a. Perancah yang dibuat harus sesuai dengan ketentuan konstruksi dan memberikan kekuatan yang diperlukan.
b. Anjugan tempat pekerja melakukan tugasnya harus sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
c. Bekerja diatas perancah harus hati-hati
d. Tangga sementara harus dibuat dan dipasang dengan kuat sesuai ketentuan denagan pegangan tangan di kanan dan kirinya
e. Jika harus dibuat jembatan penghubung sementara, buatlah jembatan yang kuat dan tidak lentur
f. Pada lubang terbuka di sekitar anjungan di atas perancah harus diberi tutup yang memberi kesan adanya lubang tersebut, dan gunakan jarring-jaring untuk perancah yang tinggi
g. Perhatikan dan periksa ikatan-ikatan dan sambungan-sambungan perancah secara terus menerus

2. Galian Tanah Terbuka
Pelaksanaan galian tanah pada pekerjaan saluran, parit,sumur dan sejenisnya perlu diperhatikan adanya kemungkinan terjadinya kecelakaan sehubungan dengan jenis dan sifat tanah. Beberapa yang perlu diperhatikan adalah :
a. Kemiringan/lereng galian tanah harus cukup aman.
b. Turap kayu atau besi harus dipasang sebagai dinding penahan tanah pada galian parit untuk menghindari terjadinya longsoran.
c. Pada pengalian tanah yang luas harus dibuatkan saluran drainase untuk air hujan atau air tanah.
d. Menempatkan bahan terlalu dekat dengan pinggiran galian dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya tanah longsor

3. Galian Di Bawah Tanah
Beberapa hal harus di perhatikan pada pekerjaan galian di bawah tanah adalah seperti berikut :
a. Adanya sirkulasi udara yang bersih di dalam terowongan .
b. Penerangan yang cukup untuk bekerja
c. Pemeriksaan kemungkinan adanya gas berbahaya di dalam terowongan.
d. Penggunaan topeng anti gas beracun bagi pekerja yang memberikan pertolongan pada tenaga kerja yang pingsan akibat gas beracun
e. Pembuatan konstruksi penahan tanah harus kuat untuk menghindari terjadinya tanah longsor

4. Pekerjaan Beton
Untuk menghindari akibat –akibat yang kurang baik pada pekerjaan beton harus di perhatikan sebagai berikut :
a. Pekerjaan harus menggunakan perlengkapan kerja seperti sarung tangan, sepatu, topi keras ( helm ) dan penutup hidung ( masker ) pada saat memasukan cement ke dalam mesin pengaduk .
b. Memotong dan membengkok besi beton dilakukan secara hati-hati dan dengan langkah yang benar
c. Pada saat penarikan besi/kabel beton peraktekan,pekerja tidak boleh berdiri dibelakang atau searah denga bagian yang sedang ditarik atau dibelakang dongktak.
d. Pekerja tidak boleh memotong besi/kabel beton pratekan sebelum beton cukup keras
e. Papan acuan tidak boleh dibuka sebelum memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan harus atas perintah yang berwenang.

5. Pekerjaan Pasang Batu
Untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak dikehendaki pada saat mengerjakan pasang batu harus diperhatikan beberapa hal seperti berikut:
a. Pada pasang dinding penahan tanah yang cukup tinggi bahan-bahan tidak ditempatkan terlalu dekat dengan lubang galian, karena bisa jatuh menimpa pekerja yang ada dibawahnya
b. Bahan-bahan sebaiknya diturunkan melaluai tangga sementara, tidak dilempar langsung dari bagian atas.
c. Tangga sementara yang dibuat harus kuat,dan dipasang pegangan pada bagian kiri/kanannya.
d. Memecah/membelah batu-batu yang besar harus dilakukan dengan hati-hati, menggunakan kaca mata dan sepatu untuk menjaga kemungkinan pecah batu kecil-kecil mengenai anggota badan.




Paparan Diskusi dgn LKPP


REPUBLIK INDONESIA
LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Saudara-saudara peserta MUKERDA LPJKD Sumut yang saya hormati,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi dan salam sejahtera,

Terlebih dahulu marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas karuniaNya lah, pada hari ini kita dapat melaksanakan pertemuan ini dengan baik.

Pada kesempatan ini, LKPP diminta untuk memaparkan ‘Dasar Pemikiran dan Pokok-pokok Revisi Keppres 80/2003’. Undangan ini juga memberi kesempatan untuk bertatap muka dengan Bapak/Ibu/Saudara. Untuk itu, saya atas nama LKPP menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah Provinsi Sumatera Utara, beserta segenap Panitia Penyelenggara yang telah bekerja keras mempersiapkan acara ini.

Peserta Mukerda yang saya hormati,

Sebelum memasuki pokok bahasan seperti yang diminta, ijinkanlah saya sejenak memperkenalkan LKPP atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, walaupun saya yakin sebagian dari hadirin telah mengetahuinya.

Pada tanggal 6 Desember 2007, Presiden Republik Indonesia telah menyetujui pembentukan suatu lembaga yang khusus bertugas untuk merumuskan kebijakan, strategi, regulasi, dan langkah-langkah operasional di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, melalui Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang selanjutnya disebut LKPP.

Walaupun pembentukan LKPP boleh dikatakan “terlambat” lebih dari dua tahun dari tenggat waktu yang diamanatkan oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, namun keterlambatan itu tidak mengurangi keinginan dan harapan untuk menjadikan LKPP sebagai salah satu ujung tombak pemberantasan KKN.

Sebagai Lembaga Pemerintah Non-Departemen atau LPND yang kedudukannya setara dengan Bappenas, BPS, atau BKKBN, LKPP bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI, namun untuk koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsinya LKPP berada di bawah koordinasi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

LKPP merupakan satu-satunya instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk secara terus menerus dan konsisten mengembangkan, menyusun, dan merumuskan strategi, kebijakan serta regulasi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaannya sehingga dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan apabila dalam pelaksanaannya menghadapi kendala dan hambatan. LKPP juga akan mengembangkan prosedur dan tata cara pengadaan baru, diantaranya memperluas layanan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik (melalui E-Procurement). Selain itu, LKPP juga berkewajiban mengembangkan SDM di bidang pengadaan, serta melayani bantuan hukum dan penyelesaian sanggah.

Hadirin yang saya hormati,

Apabila kita berbicara tentang Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, maka sebenarnya aturan yang ada sekarang pun, yaitu Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, telah memberi peluang yang sangat luas dan konsisten dengan jiwa maupun semangat untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat.

Keppres 80/2003 itu, apabila dibandingkan dengan aturan-aturan yang ada sebelumnya, atau bahkan dibandingkan dengan aturan sejenis dari berbagai negara lain, boleh dikatakan telah menerapkan international best practices dan memuat nilai-nilai kekinian yang menjadi syarat mutlak pelaksanaan good governance, seperti efisien dan efektif (best value for money), terbuka dan bersaing (open and competitive), transparan, adil/non-diskriminatif, dan akuntabel.

Walaupun dikatakan bahwa Keppres 80/2003 telah memberi peluang yang luas untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat, kami tidak pernah menganggap bahwa Keppres tersebut telah sempurna. Oleh karena itu, LKPP sedang melakukan revisi atau menyempurnakan aturan-aturan yang ada dalam Keppres 80/2003, dan selanjutnya akan mengajukan Rancangan Undang Undang tentang Pengadaan Barang/Jasa Publik ke DPR. Harapan kami, Perpres baru tersebut dapat diselesaikan tahun 2009 ini.

Sebagaimana kita ketahui, pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah, yang dituangkan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, telah mengalami beberapa perubahan. Namun, perubahan-perubahan tersebut lebih bersifat parsial dan belum menyentuh permasalahan yang terjadi selama Keppres dimaksud berlaku sejak tahun 2003.

Berdasarkan masukan dalam banyak diskusi, bimbingan teknis, pelatihan dan seminar tentang pengadaan barang/jasa, baik di Pusat maupun di Daerah, ada beberapa permasalahan yang perlu kita cermati :

a. adanya ketidak-konsistenan, multi tafsir, serta kekurang-tegasan dalam pengaturan dan prosedur yang tertuang dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, sehingga menimbulkan keraguan, perdebatan yang cukup sengit, hingga menjadi persoalan hukum ;

b. adanya perubahan peraturan perundangan lain yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan pengadaan barang/jasa, sehingga menuntut adanya perubahan dalam substansi, terminology, prosedur dan tata cara sebagaimana diatur dalam Keppres 80 Tahun 2003.

c. adanya kebijakan belanja pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan negara dalam penyediaan barang/jasa serta menumbuhkembangkan lingkungan usaha khususnya yang berkaitan dengan industri dalam negeri, persaingan usaha dan usaha kecil ;

d. adanya tuntutan penyesuaian terhadap perkembangan lingkungan strategik yang dinamis:
1) Komitmen dalam meningkatkan efektifitas Pinjaman Hibah Luar Negeri (Deklarasi Paris).
2) Peningkatan daya saing nasional.
3) Perkembangan teknologi informasi.

e. adanya perbedaan prosedur pengadaan:
1) Belanja skala besar berbeda dengan belanja skala kecil.
2) Belanja barang habis pakai berbeda dengan belanja barang modal.
3) Belanja barang/jasa khusus (misalnya: alutsista TNI dan Polri, pengadaan di luar negeri, jasa broker keuangan dan lain-lain) ;

f. adanya tuntutan untuk lebih memperjelas substansi dan sistematika pengaturan pengadaan.

Semua permasalahan di atas perlu dicermati dan ditelaah dengan sebaik-baiknya agar pemecahan masalahnya tidak menimbulkan masalah baru yang justru lebih serius. Untuk itu, dalam melakukan revisi Keppres No. 80/2003, LKPP tetap berpedoman pada beberapa prinsip penting yang dianut dalam Keppres 80/2003 tersebut.

Yang pertama adalah mengurangi barrier to entry, yang memberi peluang yang lebih mudah dan lebih terbuka bagi pengusaha. Berbagai persyaratan administrasi yang sebelumnya merepotkan pengusaha ketika akan ikut lelang, seperti menunjukkan akte asli dan surat ijin usaha yang asli, juga dihapuskan.

Yang kedua, mengutamakan metoda pasca-kualifikasi, kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan kompleks dan berteknologi tinggi. Dalam proses ini panitia/pejabat pengadaan bahkan dilarang menambah persyaratan di luar ketentuan Keppres atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Implikasi dari pengutamaan metoda pasca-kualifikasi tersebut adalah memperpendek waktu pelaksanaan tender, menjadi cukup 18 (delapan belas) hari kerja saja untuk pekerjaan sederhana, dengan syarat segala persiapannya telah matang. Dengan waktu pelaksanaan tender yang lebih singkat, maka kegiatan pengadaan akan lebih lancar, dan sebaliknya bagi pengusaha akan lebih bersemangat untuk berpartisipasi, dan akhirnya akan ikut serta menciptakan persaingan yang sehat.

Yang ketiga, menghapuskan segmentasi kewilayahan. Sistem pengadaan yang kita anut sekarang secara tegas melarang adanya kriteria dan persyaratan yang diskriminatif dan tidak obyektif, termasuk yang berdimensi kewilayahan. Persyaratan seperti kewajiban mempunyai rekening di bank daerah setempat, mengharuskan pelaksanaan kepada BUMD setempat, kewajiban membuka kantor perwakilan/cabang di daerah tertentu, kewajiban mempunyai surat ijin tempat usaha (SITU) daerah setempat, dan semacamnya, telah dihapuskan.

Tujuan yang ingin dicapai oleh prinsip tersebut adalah membentuk satu kesatuan pasar, Pasar Indonesia! Dengan demikian pengusaha dari wilayah Banten, misalnya, dapat ikut bersaing dengan pengusaha asal Surabaya untuk pengadaan barang atau jasa di Sumatera Utara. Suasana keterbukaan semacam ini lambat laun akan memaksa para pengusaha untuk meningkatkan daya saingnya, meningkatkan mobilitasnya, yang akhirnya akan membentuk pasar nasional yang sehat pula.

Yang keempat, penyederhanaan segmentasi skala usaha. Pengelompokan usaha yang sebelumnya ada tiga, yaitu usaha kecil, menengah, dan besar, kini disederhanakan menjadi dua kelompok saja, yaitu usaha kecil dan usaha non-kecil. Pembuktian usaha kecil cukup dengan surat ijin usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat.

Pemihakan kepada usaha kecil juga diterapkan melalui aturan tentang pemaketan pekerjaan, dimana paket pekerjaan sampai dengan 1 milyar rupiah diperuntukkan bagi usaha kecil, termasuk koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil termasuk koperasi kecil.

Yang kelima, membatasi keikutsertaan perusahaan asing. Perusahaan asing dapat ikut serta dalam pengadaan barang/jasa dengan nilai di atas 50 milyar rupiah untuk jasa pemborongan, di atas 10 milyar rupiah untuk pengadaan barang/jasa lainnya, dan di atas 5 milyar rupiah untuk jasa konsultansi. Perusahaan asing tersebut harus pula melakukan kerjasama usaha dengan perusahaan nasional dalam bentuk kemitraan, subkontrak, dan lain-lain.

Yang keenam, pengumuman kepada publik secara terbuka. Untuk pelelangan umum yang bernilai di atas 1 milyar rupiah, maka wajib diumumkan secara terbuka di surat kabar nasional dan provinsi, serta diupayakan dimuat di website pengadaan nasional. Sedangkan untuk pelelangan umum yang nilainya di bawah 1 milyar harus diumumkan sekurang-kurangnya di satu surat kabar provinsi yang bersangkutan.

Pengumuman melalui media masa tersebut dimaksudkan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik, sekaligus memberi kesempatan seluas-luasnya bagi pengusaha setempat maupun dari daerah lainnya untuk ikut berpartisipasi. Pada saat yang sama pengumuman tersebut juga membuka ruang publik yang lebar agar masyarakat ikut melakukan social control.

Yang ketujuh, menghapus koridor penawaran terendah terhadap Harga Perkiraan Sendiri (HPS). HPS, yang harus disusun secara cermat dan dapat dipertanggungjawabkan, tetap digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran. Penawaran yang dianggap terlalu rendah (lebih kecil dari 80% HPS) tidak serta merta dapat digugurkan.

Mengapa koridor HPS dihapuskan? Alasan pertama untuk ‘efisiensi’ dengan membuka peluang seluas-luasnya kepada pengusaha untuk bersaing secara ketat melalui penawaran berdasarkan harga riil di pasar setempat. Alasan kedua adalah untuk ‘cross-check’ terhadap akurasi HPS itu sendiri. Dalam hal ini kualitas perhitungan HPS benar-benar akan diuji oleh pasar dalam arti yang sesungguhnya. Dalam keyakinan kami, penghapusan koridor HPS itu sudah tepat. Aturan ini juga dipraktekkan di berbagai negara maju, dan secara empirik terbukti mampu meningkatkan persaingan dan efisiensi. Lantas di mana salahnya?

Kami menyadari bahwa dewasa ini, di beberapa tempat, terjadi fenomena ‘banting-bantingan harga’ yang dikhawatirkan mengancam kualitas pekerjaan. Dalam keyakinan kami ‘banting-bantingan harga’ akan terjadi manakala HPS-nya tidak akurat, atau apalagi over-priced alias mark-up-nya terlalu besar. ‘Banting-bantingan harga’ juga akan terjadi manakala spesifikasi-teknisnya lemah, tidak akurat, tidak rinci, dan tidak jelas, sehingga ditafsirkan berbeda oleh peserta tender yang akhirnya menawar murah.

Yang kedelapan, pengadaan dilakukan oleh pejabat yang kompeten (bersertifikat). Melihat fenomena ‘banting-bantingan harga’ tadi, kami yakin masalahnya justru terletak di Panitia Pengadaan, yang selama ini disinyalir masih lemah dalam penyusunan spesifikasi-teknis dan perhitungan HPS-nya. Kami yakin, apabila seluruh dokumen lelang, spesifikasi-teknis, dan HPS telah dihitung dengan sangat cermat oleh panitia yang kompeten, maka pengusaha pasti akan berpikir dua kali sebelum melakukan ‘banting harga’.

Dengan demikian, prinsip-prinsip di atas mengharuskan kedua belah pihak, yaitu pemerintah cq. Panitia Pengadaan dan Pengusaha sebagai penyedia barang/jasa, untuk sama-sama bersikap correct dan professional. Ini adalah syarat mutlak menuju good governance, sekaligus jalan menuju persaingan usaha yang sehat.

Peserta Mukerda yang saya hormati,

Dari pemaparan di atas, revisi Keppres ini bertujuan untuk melengkapi substansi pengaturan serta memperbaiki struktur dan nomenklatur yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga disesuaikan dengan best practices yang berlaku internasional.
Adanya perubahan terhadap Keppres No. 80 Tahun 2003 diharapkan akan meminimalkan keraguan, perdebatan dan persoalan hukum yang terkait dengan proses pengadaan barang jasa. Perubahan ini juga diharapkan mampu memayungi ketentuan pengadaan barang/jasa dengan ruang lingkup yang lebih luas dari cakupan APBN/APBD, termasuk pengadaan barang/jasa yang pendanaannya berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN).

Beberapa hal yang sedang dilakukan tim revisi Keppres No. 80/2003 adalah :

1. Restrukturisasi dan penyempurnaan substansi pengaturan :
· Ketentuan Umum.
· Barang (termasuk kebutuhan militer).
· Jasa Konstruksi (perencana, pengawas, pelaksana).
· Jasa konsultansi non konstruksi.
· Jasa lainnya seperti jasa keuangan, cleaning service, jasa kesehatan.
· Pengadaan Badan Usaha dalam rangka kerja sama Pemerintah dan Swasta.
· Swakelola.
· Electronic Procurement.

2. Penyempurnaan pengaturan dan redaksional agar lebih tegas dan jelas, antara lain mengenai :
· pengaturan yang bersifat pilihan dan kewajiban.
· Pengaduan, sanggah dan sanggah banding.
· Aturan kondisi kahar.
· Aturan black list.
· Aturan Penyesuaian Harga (Price Adjustment)
· pembentukan Unit Layanan Pengadaan.
· Pelaksanaan pengadaan hibah oleh masyarakat.
· batasan kewenangan administrasi negara, perdata dan pidana menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas indikasi tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.


3. Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada :
· UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
· Permendagri No. 13 Tahun 2006 j.o. No. 59/2007 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
· UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
· UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
· dan lain-lain.

4. Penambahan pengaturan tentang:
· Integrasi procurement plan dalam RKA K/L.
· Penunjukan Pejabat Pembuat Komitmen/Satker dilakukan sebelum pengesahan DIPA.
· E-procurement dan e-shopping.
· Framework Agreement.
· Sistem monitoring dan evaluasi pengadaan.
· Pengembangan profesionalitas para pihak.
· Penyelesaian sanggah (complain resolution) dan pengaduan.
· Distribusi kewenangan dan mekanisme pengawasan instansi terkait.
· Pengembangan sistem pengadaan yang tepat berdasarkan praktek terbaik internasional, termasuk prinsip-prinsip green procurement.


Dalam pembahasan Revisi Keppres No. 80/2003 tersebut, beberapa wacana telah muncul dan menjadi bahan yang perlu didiskusikan :
· Pemisahan tugas yang jelas antara Panitia/Pejabat/Unit Layanan Pengadaan dengan Pejabat Pembuat Komitmen.
· Penghapusan sistem Pelelangan Terbatas dan Pemilihan Langsung.
· Penghapusan KPA untuk Pemerintah Daerah.
· Besarnya nilai pekerjaan dalam Penunjukan Langsung.
· Memperbesar batas nilai kontrak dengan kuitansi.
· Masalah Panitia untuk Komisi dan BUMN/BUMD/BHMN/ BLU serta penerima hibah.

Hadirin yang saya hormati,

Demikianlah pemaparan kami diiringi ucapan terima kasih sekali lagi atas kesempatan yang telah diberikan.

Akhir kata, selamat bermusyawarah, dengan harapan dapat menjaring aspirasi maupun pemikiran baru untuk mendukung terlaksananya good governance maupun penciptaan persaingan usaha yang sehat.

Kami berharap bahwa aspirasi tersebut tidak hanya berguna bagi LPJK Provinsi Sumatera Utara, tetapi juga bermanfaat sebagai masukan bagi kami di LKPP, khususnya dalam revisi Keppres 80/2003.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tugas & Wewenang DP LPJKD

Dewan Pengurus LPJK Daerah mempunyai tugas dan wewenang :
1. Membuat dan menetapkan kebijakan pengembangan jasa konstruksi di daerah dengan berpedoman pada norma dan aturan yang telah ditetapkan oleh Dewan Pengurus LPJK Nasional;
2. Menyelenggarakan Musda / Musdalub / Mukerda dan Rapat-rapat sebagaimana dimaksud dalam Bab IX Anggaran Dasar;
3. Melaksanakan semua keputusan Musda / Musdalub / Mukerda dan Rapat sebagaimana tersebut pada ayat 2;
4. Memberikan persetujuan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan penggunaan keuangan dari Badan Pelaksana LPJK Daerah;
5. Mengadakan hubungan dan bekerjasama dengan Pemerintah daerah propinsi dan badan-badan lain yang terkait dalam rangka tercapainya tujuan LPJK pada tingkat daerah yang bersangkutan;
6. Mengatur dan mempertanggungjawabkan kebijakan anggaran LPJK di tingkat Daerah;
7. Melaksanakan pembinaan kepada asosiasi jasa konstruksi, badan usaha dan tenaga kerja konstruksi di daerah;
8. Mengelola harta kekayaan (asset) LPJK Daerah-nya.

LANDASAN KEBIJAKAN
1. Kebijakan umum LPJKD Prov.SU memiliki landasan legal UU No.18 tahun 1999 beserta Peraturan Pemerintah No.28, 29 dan 30 Tahun 2000 dan Undang-Undang Sektor serta Kebijakan Pemerintah dalam rencana pembangunan.
2. Landasan institusional adalah AD/ART LJKPD Prov.SU dan rencana strategis (renstra) LPJKD Prov.SU Periode 2008-2012.
3. Landasan operasional adalah Peraturan LPJKN, dan Keputusan Dewan Pengurus LPJKD Prov.SU.

KERANGKA KEBIJAKAN
1. Kerangka kebijakan Lembaga dapat dikonsepsikan sebagai bingkai atau ruang pembentuk kebijakan atau dengan kata lain, kebijakan yang akan dirumuskan dikerangkai oleh apa saja. Artinya, kebijakan umum Lembaga kedepan akan berada pada suatu ruang atau koridor yang dibentuk oleh sesuatu. Secara umum kerangka kebijakan Lembaga adalah visi Konstruksi Indonesia, kebijakan pembinaan jasa konstruksi oleh Pemerintah, visi dan misi Lembaga, serta periodisasi implementasi kebijakan empat (4) tahunan.
2. Dalam hal ini, kebijakan umum Lembaga tentu harus berada pada koridor atau ruang dengan garis-garis yang dibentuk oleh keempat simpul tersebut. Permasalahannya adalah apakah visi Konstruksi Indonesia sudah menjadi visi bersama para pemangku kepentingan Konstruksi Indonesia ? Apakah visi dan misi Lembaga mencitrakan konvergensi dengan visi konstruksi Indonesia ? Bagaimana sesungguhnya kebijakan pembinaan terkait dengan pengembangan juga menjadi pertanyaan mendasar. Selanjutnya bagaimana merumuskan kebijakan umum dengan rentang empat (4) tahunan untuk implementasi program.
3. Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada akhirnya ruang pembentuk kebijakan umum Lembaga harus diasumsikan atau dikonstruksi terlebih dahulu. Dalam hal ini, secara praktis dan taktis, visi Konstruksi Indonesia diasumsikan merujuk pada rekomendasi dari dokumen Konstruksi Indonesia 2030. Kemudian kebijakan pembinaan oleh Pemerinta ditunjukkan oleh dokumen Pedoman dan Pola Tetap Pembinaan Jasa Konstruksi 2006 dan visi dan misi Lembaga termasuk penetapan periodisasi implementasi program 4 tahunan adalah sebagaimana telah ditetapkan dalam AD/ART Lembaga.

RUMUSAN KEBIJAKAN.
1. Membangun Tata Kelola dan Mutu Layanan LPJKD Prov.SU.
· Kebijakan umum ini didasarkan atas kebutuhan menjadikan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Indonesia memiliki “good governance”, sehingga mampu menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya secara profesional dalam memberikan mutu layanan kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
· Kebijakan ini juga diharapkan menghantarkan kebutuhan melakukan reorientasi dan reposisi Lembaga termasuk memperkuat dasar hukum pembentukan Lembaga adalah melalui Peraturan Pemerintah secara khusus bahkan kalau dimungkinkan melalui Undang-Undang atau pating tidak penyempurnaan Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
· Kebijakan ini juga diharapkan mampu menjadikan Lembaga untuk keluar dari karakteristik organisasi masa, karena dibentuk oleh AD/ART dan berekpresi empirik sebagaimana partai politik misalnya ada munas, munasus, musnaslub, pertangungjawaban, pemilihan ketua, sebutan peserta penuh, dan peninjau dalam munas yang kadang conflict of interest tidak dapat dihindari, bahkan kritik pedas Lembaga sesungguhnya cenderung menjadi “asosiasi dan asosiasi” dan tidak diletakkan dalam pemahaman representatif atau keterwakilan masyarakat dalam pengembangan jasa konstruksi tetapi dalam konteks partisipatif.
2. Membangun Kompetensi SDM dan Badan Usaha Jasa Konstruksi.
· Kebijakan umum ini didasarkan akan kebutuhan SDM dan Badan Usaha Konstruksi Indonesia yang profesional dan berstandar internasional, sebagai bagian pembentukan daya saing sektor konstruksi yang pada gilirannya akan membentuk daya saing bangsa.
· Kebijakan umum ini juga mengingatkan bahwa kompleksitas permasalahan dan permasalahan terkait dengan sektor konstruksi Indonesia akan semakin bertambah. Oleh karena itu SDM Konstruksi yang sangat berkompenten menjadi sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan dan permasalahan yang akan terjadi.
· Kebijakan ini juga diharapkan perubahan cara pandang bahwa daya saing bangsa ini harus karena bersifat komparatif misalnya jumlah SDM banyak dan murah, tetapi berubah menjadi jumlah SDM berkualitas banyak dan mampu menciptakan nilai tambah karena produktifitas tinggi. Kompetisi tidak lagi pada ranah “competing on cost” tetapi telah bergeser kepada “competing on delivery” dan “competing on quality”. Hal ini semua semua membutuhkan SDM yang berkualitas.
· Kebijakan ini juga diajukan sebagai respon atas tuntutan zanman globalisasi, abad ilmu pengetahuan ( knowledge age ). Kebijakan umum diusulkan menjadi spirit utama untuk menumbuhkan kebanggaan jasa konturksi menjadi gagah perkasa, bijak dalam menyelenggarakan jasa kontruksi sehingga menghasilkan suatu lingkungan terbangun yang nyaman karena produk kontruksi berkualitas , bermamfaat dan berkelanjutan, secara prinsip, kebijakan ini ditujukan untuk membentuk harga dan percaya diri bangsa dalam percaturan global.
· Dalam rangka mengawasi kinerja Dewan Pengurus LPJKD Prov.SU Periode 2008 – 2012 dan Badan Pelaksana LPJKD Prov.SU harus membentuk Majelis Pertimbangan LPJKD Pros.SU Periode 2008-2012 dan Badan Pengawas LPJKD Prov.SU Periode 2008-2012 setalah terpilihnya Dewan Pengurus LPJKD yang baru.
3. Membangun Sinergy & Trust antar dan Inter Pelaku Jasa Konttruksi,
Kebijakan umum bermaksud meningatkan kepada semua pihak bahwa zaman global sekarang ini kompetitor kita sesungguhnya bukan bangsa sendiri, tetapi mereka yang telah gagah memasuki wilayah negeri ini sebagai pasar dan eksploitasi mereka. Oleh karena itu , saling memaki, saling memangsa, saling mengadu domba, saling melemahkan dan saling silang sengketa ( rebutan balung tanpa isi ) karena isinya telah dimakan oleh kapitalis global harus segera dihilangkan dari hati setiap pelaku jasa konstruksi nasional.
Kebijakan ini juga memberi arahan agar pelaku jasa konstruksi terus menerus menyediakan modal sosial ini untuk merapatkan barisan, bahu membahu ( shoulder to shoulder), bergandengan tangan (hand to hand) menciptakan nilai tambah untuk bersama secara berkelanjtuan atas kredo berlomba-lomba berbuat kebijakan.
Kebijakan umum ini juga diharapkan memberi ruang tumbuhnya nasionalisme atau persatuan dalam keragaman atas dasar nilai-nilai ke Tuhan-an. Boleh jadi hiruk pikuk yang muncul kepermukaan seperti saling membuat organisasi tandingan oleh diantara para pelaku tidak terasa karena skenario pihak-pihak yang tidak senang dengan Indonesia bersatu padu.
Kebijakan ini bermaksud memberi catatan bahwa modal sosial ini harus tumbuh agar jasa konstruksi nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan “vested interest” hanya akan memperlemah bangsa ini berhadapan dengan persaingan global. Luas wilayah dan jumlah penduduk serta kekayaan alam telah dan akan terus menjadi pasar potensial yang menjadi sasaran penetrasi pihak asing.
4. Membangun Koordinasi untuk Kerjasama Timbal Balik Saling Menguntungkan antar dan Inter Pemangku Kepentingan Jasa Konstruksi.
· Kebijakan umum ini didasari atas fakta empirik bahwa salingan kerjasama “reciprocal” antar pemangku kepentingan sektor konstruksi belum terbentuk. Fakta tersebut misalnya permutakhiran kurikulum pendidikan tinggi teknik sipil tidak selalu memberi ruang kepada pihak industri untuk berpartisipasi. Kemudian, hasil-hasil riset dan pengembangan teknologi oleh lembaga riset dan perguruan tinggi belum sepenuhnya diadaptasi oleh praktisi.
· Kebijakan umum ini sesungguhnya ingin mengajak bahwa permasalahan dan tantangan ke depan tidak cukup hanya dihadapi pelaku jasa konstruksi saja, tetapi tentu melibatkan berbagai pihak, seperti lembaga pemerintah selain Departemen PU, lembaga keuangan, lembaga pendidikan dan pelatian, dan lembaga pertanggungan.
· Kebijakan ini juga mengajak lembaga-lembaga, seperti asosiasi badan usaha dan asosiasi profesi dapat menyusun agenda-agenda bersama terlebih mensepahami dan mensepakati ke depan ada misalnya Board of Enineer, Board of Architect, Board of Profect Management Specialist, sehingga permasalahan bakuan kompetensi, bakuan uji kompetensi, sertifikasi dalam konteks lisensi dapat tergarap secara koordinatif.
· Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong Lembaga mampu melakukan penertiban komoditifikasi sertifikasi sekaligus menetapkan suatu skema sertifikasi (lisensi) yang tepat. Disamping itu, kebijakan ini dimunculkan untuk membuat Lembaga semakin piawai untuk meredam timbulnya konflik dari pemangku kepentingan, termasuk munculnya organisasi tandingan hanya semata atas dasar implikasi perebutan posisi politik dan akses ekonomi semata.
5. Membangun Promosi dan Kerjasama Global untuk Jasa Konstruksi.
· Meskipun secara eksplisit LPJKD Prov.SU tidak diberi tugas mengelola demand (pasar), kebijakan ini didorong oleh kebutuhan sebagian pelaku jasa konstruksi untuk bermain pada kompetisi global.
· Kebijakan umum ini juga diharapkan dapat mendorong LPJKD Prov.SU mampu menjadi “marketer” bagi penyedia jasa konstruksi nasional di luar negeri. Pada konteks yang sederhana, kebijakan ini didorong oleh cita-cita jasa konstruksi nasional dapat menjadi bagian dari rantai pasok dunia (global supply network).
· Kebijakan ini juga dimaksudkan agar LPJKD Prov.SU ke depan memikirkan dan melaksanakan upaya-upaya internasionalisasi jasa konstruksi Indonesia melalui berbagai skema jalinan dengan pelaku asing dinegara lain. Hal ini akan menjadi medium penting untuk meningkatkan percaya diri pelaku jasa kosntruksi ke depan.
· Kebijakan ini juga bermaksud mendorong LPJKD Prov.SU untuk aktif berhubungan dengan Lembaga sejenis di negara lain untuk kepentingan saling kerjasama menguntungkan dan melakukan inisiasi kerjasama bilateral, regional dan internasional. Ke depan, LPJKD Prov.SU harus mampu menjadi Leader membuka jalan bagi kepentingan bisnis global jasa konstruksi nasional.

UPAYA STRATEGIS
Selanjutnya, Lembaga membutuhkan upaya strategis. Dalam merumuskan upaya strategis sedikitnya terdapat tiga elemen penting, yaitu : (1) tujuan (the desired ends to be achieved); (2) program atau cara tertentu yang ditawarkan untuk mencapai tujuan; dan (3) prakiraan dampak yaitu analisis implikasi yang diperkirakan timbul dari program yang ditawarkan untuk mencapai tujuan. Dalam konteks ini, upaya Lembaga yang diperlukan untuk menjalankan tugas sebagaimana pasal 33 UUJK dapat dirumuskan berdasarkan 4 ranah, yaitu (1) individu, (2) internal, (3) eksternal dan (4) intermation. Namun demikian, Lembaga juga membutuhkan kapasitas dan kompetensi pada ranah keorganisasian yang mantab apalagi akan bersinggungan dengan organisasi atau institusi lain terkait jasa konstruksi. Oleh karena itu Lembaga juga memerlukan program kerja yang ranah organisasi Lembaga sendiri. Artinya, konsolidasi organisasi boleh jadi juga menjadi pilihan program kerja Lembaga Terkait dengan 5 (lima) ranah tersebut. Lembaga dapat memiliki upaya strategis (strategis trust) adalah :
1. Konsolidasi kelembagaan disektor konstruksi.
2. Edukasi SDM sektor konstruksi.
3. Integrasi jasa, industri, sektor dan kluster konstruksi.
4. Kolaborasi pemangku kepentingan sektor konstruksi.
5. Internasionalisasi jasa konstruksi Indonesia.

PROGRAM KERJA

Kerangka pengembangan program Lembaga tersebut diatas tidak dapat dikerjakan dalam satu perode tugas kelembagaan. Oleh karena itu, struktur program kerja Lembaga sampai 2012 harus menyesuaikan dengan konteks prioritasi penembangan jasa konstruksi. Hal-hal prioritas dalam konteks pengembangan jasa konstruksi adalah :
1. Membangun tata kelola kelembagaan melalui perubahan AD/ART.
2. Membangun kapasitas organisasi melalui penyediaan SDM Profesional pada basis eksekusi kegiatan Lembaga.
3. Perumusan Roadmap atau Visi Konstruksi Indonesia 2030.
4. Membangun interaksi dan koordinasi antar Lembaga Pemerintah dan swasta yang berkaitan dengan pengembangan jasa kosntruksi.
5. Membangun sistem penjamin mutu registrasi dan sertifikasi tenaga kerja konstruksi.
6. Membangun sistem penjamin mutu registras dan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi.
7. Membangun sistem penyelenggaraan penelitian & pengembangan untuk jasa konstruksi.
8. Membangun sistem pendidikan dan pelatihan untuk SDM Jasa Konstruksi.
9. Membangun Sistem Informasi Konstruksi Indonesia (SIKI) untuk kepentingan perencanaan dan penendalian pengembangan konstruksi Indonesia.
10. Membangun sistem kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional terkait dengan pengembangan jasa konstruksi.
11. Penataan asosiasi badan usaha dan asosiasi profesi dalam rangka membangun sinergisme internal para pelaku jasa konstruksi.
12. Mempelopori konsolidasi jasa konstruksi nasional dalam rangka ketahanan nasional mengadapi globalisasi dan liberalisasi perdagangan jasa konstruksi.
13. Bersama pemerintah mengusulkan amandemen UU Jasa Konstruksi.
14. Membangun sistem meningkatkan peran arbitrase, mediasi dan penilai ahli di bidang konstruksi.
15. Melakukan dan mendorong penelitian dan pengembangan.
16. Menyusun Strategi Restrukturisasi Usaha Jasa Konstruksi.
17. Menyusun Strategi Menghadapi Liberalisasi Perdagangan Jasa Konstruksi.
18. Membuka Akses Pasar Konstruksi Swasta dan Global.
19. Memperkokoh Struktur Supply Network Konstruksi Indonesia.

Lambang & Kode Etik LPJK

ARTI DAN MAKNA LAMBANG LPJK:
1. Bentuk dasar lambang merupakan konfigurasi dari huruf LPJK atau SCDB, yang merupakan singkatan dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi, atau terjemahannya dalam bahasa Inggris yaitu Construction Services Development Board, dalam bentuk yang dinamis dan bermakna selalu berkembang.

2. Empat segitiga yang terjadi dari konfigurasi bentuk melambangkan empat unsur Masyarakat Jasa Konstruksi yang wakil-wakilnya menjadi anggota LPJK yaitu :
- Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi.
- Asosiasi Perusahaan Jasa Konstruksi.
- Pakar dan Perguruan Tinggi.
- Pemerintah.

3. Arti warna yang digunakan dalam lambang :
+ Dasar kotak biru tua melambangkan kestabilan dengan warna bidang keteknikan.
+ Warna utama lambang adalah merah bata, melambangkan warna bahan alam yang banyak digunakan dalam bangunan konstruksi.
+ Warna biru muda ditengah lambang menggambarkan unsur air, yang melambangkan bagian dari kegiatan konstruksi.
+ Warna kuning yang digunakan sebagai bingkai lambang dan huruf LPJK memberikan makna ketegasan dan kemandirian.

KODE ETIK LPJK "PANCA DARMA":
1. Memiliki kesadaran Nasional yang tinggi, dengan mentaati semua perundang-undangan, peraturan serta menghnidarkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela ataupun melawan hukum.
2. Menggunakan pengetahuan dan kemampuannya secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat, sesuai dengan kompetensinya serta tugas dan tanggung jawabnya dibidang Jasa Konstruksi.
3. Selalu meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian dan atau kemampuan keprofesionalannya dibidang Jasa Konstruksi.
4. Senantiasa memegang teguh kehormatan, integritas dan martabat profesi.
5. Didalam penyelenggaraan fungsi dan tugas lembaga senantiasa berpegang teguh pada profesi dan prinsip good corporate governance.

Tentang LPJK

VISI
Terwujudnya usaha jasa konstruksi nasional yang profesional, efisien dan berdaya saing di pasar nasional maupun internasional
MISI
Menyelenggarakan dan meningkatkan peran masyarakat jasa konstruksi dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi nasional dengan terwujudnya struktur usaha jasa konstruksi yang kokoh dan andal serta iklim usaha yang kondusif, transparan, efisien, beretika profesi dan beretika bisnis.
SASARAN
Menjadikan LPJK sebagai suatu lembaga yang mandiri, profesional serta dapat dipercaya baik di dalam maupun di luar negeri.
Mengembangkan usaha jasa konstruksi yang memiliki kekuatan, berdaya saing, efisien serta produktifitas yang tinggi.
Memprioritaskan pada kejelasan dan tanggung jawab demi kepentingan masyarakat dan bangsa.
STRATEGI
Mengembangkan jasa konstruksi nasional yang kokoh dan mewujudkan lingkungan usaha yang kondusif.
Menciptakan iklim usaha yang sehat dan bersih.
Meningkatkan keterkaitan sinergi antar sektor lingkungan usaha.
Memberikan pelayanan dan perlindungan pada masyarakat umum terutama dalam sektor konstruksi.
TUGAS
Melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa konstruksi.
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi.
Melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja.
Melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi.
Mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi.
PELAKSANAAN TUGAS
- Mengembangkan system informasi jasa konstruksi.
- Menyusun model dokumen lelang, model kontrak kerja konstruksi dan pedoman tata cara pengikatan
- Melakukan sosialisasi penerapan standar nasional, regional, internasional.
- Mendorong penyedia jasa untuk mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional.
FUNGSI
Sebagai penyelenggara pengembangan jasa konstruksi.
Wadah pembinaan pelaksana jasa konstruksi
Mitra pemerintah dalam pembinaan jasa konstruksi.
WEWENANG
Memberikan akreditasi kepada :
Asosiasi Perusahaan untuk klasifikasi dan kualifikasi badan usaha.
Asosiasi Profesi, Institusi pendidikan dan pelatihan dalam penyelenggaraan sertifikasi keterampilan kerja dan keahlian kerja.
Memberikan status kesetaraan sertifikat keahlian tenaga kerja asing dan registrasi badan usaha asing.
Menyusun dan merumuskan ketentuan-ketentuan mengenai tanggungjawab profesi berlandaskan prinsip keahlian, kaidah keilmuan, kepatutan dan kejujuran intelektual dengan mengutamakan kepentingan umum.
Memberikan sanksi kepada asosiasi perusahaan, asosiasi profesi dan institusi pendidikan serta pelatihan yang mendapatkan akreditasi dari LPJK atas pelanggaran yang dilakukan.
Memberikan sanksi kepada penyedia jasa konstruksi atas pelanggaran ketentuan LPJK
Melakukan registrasi :
Badan usaha nasional maupun asing yang telah mendapat sertifikat dan kualifikasi
Tenaga kerja konstruksi nasional maupun asing yang memiliki sertifikat keterampilan kerja atau keahlian kerja.
Mengembangkan sistem informasi jasa konstruksi
Menyusun model dokumen lelang, model kontrak kerja konstruksi dan pedoman tata cara pengikatan.
Melakukan sosialisasi penerapan standar nasional, regional dan internasional
Mendorong penyedia jasa untuk mampu bersaing di pasar nasional dan internasional.