Monday, June 15, 2009

Paparan Diskusi dgn LKPP


REPUBLIK INDONESIA
LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Saudara-saudara peserta MUKERDA LPJKD Sumut yang saya hormati,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi dan salam sejahtera,

Terlebih dahulu marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas karuniaNya lah, pada hari ini kita dapat melaksanakan pertemuan ini dengan baik.

Pada kesempatan ini, LKPP diminta untuk memaparkan ‘Dasar Pemikiran dan Pokok-pokok Revisi Keppres 80/2003’. Undangan ini juga memberi kesempatan untuk bertatap muka dengan Bapak/Ibu/Saudara. Untuk itu, saya atas nama LKPP menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah Provinsi Sumatera Utara, beserta segenap Panitia Penyelenggara yang telah bekerja keras mempersiapkan acara ini.

Peserta Mukerda yang saya hormati,

Sebelum memasuki pokok bahasan seperti yang diminta, ijinkanlah saya sejenak memperkenalkan LKPP atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, walaupun saya yakin sebagian dari hadirin telah mengetahuinya.

Pada tanggal 6 Desember 2007, Presiden Republik Indonesia telah menyetujui pembentukan suatu lembaga yang khusus bertugas untuk merumuskan kebijakan, strategi, regulasi, dan langkah-langkah operasional di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, melalui Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang selanjutnya disebut LKPP.

Walaupun pembentukan LKPP boleh dikatakan “terlambat” lebih dari dua tahun dari tenggat waktu yang diamanatkan oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, namun keterlambatan itu tidak mengurangi keinginan dan harapan untuk menjadikan LKPP sebagai salah satu ujung tombak pemberantasan KKN.

Sebagai Lembaga Pemerintah Non-Departemen atau LPND yang kedudukannya setara dengan Bappenas, BPS, atau BKKBN, LKPP bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI, namun untuk koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsinya LKPP berada di bawah koordinasi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

LKPP merupakan satu-satunya instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk secara terus menerus dan konsisten mengembangkan, menyusun, dan merumuskan strategi, kebijakan serta regulasi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaannya sehingga dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan apabila dalam pelaksanaannya menghadapi kendala dan hambatan. LKPP juga akan mengembangkan prosedur dan tata cara pengadaan baru, diantaranya memperluas layanan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik (melalui E-Procurement). Selain itu, LKPP juga berkewajiban mengembangkan SDM di bidang pengadaan, serta melayani bantuan hukum dan penyelesaian sanggah.

Hadirin yang saya hormati,

Apabila kita berbicara tentang Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, maka sebenarnya aturan yang ada sekarang pun, yaitu Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, telah memberi peluang yang sangat luas dan konsisten dengan jiwa maupun semangat untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat.

Keppres 80/2003 itu, apabila dibandingkan dengan aturan-aturan yang ada sebelumnya, atau bahkan dibandingkan dengan aturan sejenis dari berbagai negara lain, boleh dikatakan telah menerapkan international best practices dan memuat nilai-nilai kekinian yang menjadi syarat mutlak pelaksanaan good governance, seperti efisien dan efektif (best value for money), terbuka dan bersaing (open and competitive), transparan, adil/non-diskriminatif, dan akuntabel.

Walaupun dikatakan bahwa Keppres 80/2003 telah memberi peluang yang luas untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat, kami tidak pernah menganggap bahwa Keppres tersebut telah sempurna. Oleh karena itu, LKPP sedang melakukan revisi atau menyempurnakan aturan-aturan yang ada dalam Keppres 80/2003, dan selanjutnya akan mengajukan Rancangan Undang Undang tentang Pengadaan Barang/Jasa Publik ke DPR. Harapan kami, Perpres baru tersebut dapat diselesaikan tahun 2009 ini.

Sebagaimana kita ketahui, pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah, yang dituangkan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, telah mengalami beberapa perubahan. Namun, perubahan-perubahan tersebut lebih bersifat parsial dan belum menyentuh permasalahan yang terjadi selama Keppres dimaksud berlaku sejak tahun 2003.

Berdasarkan masukan dalam banyak diskusi, bimbingan teknis, pelatihan dan seminar tentang pengadaan barang/jasa, baik di Pusat maupun di Daerah, ada beberapa permasalahan yang perlu kita cermati :

a. adanya ketidak-konsistenan, multi tafsir, serta kekurang-tegasan dalam pengaturan dan prosedur yang tertuang dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, sehingga menimbulkan keraguan, perdebatan yang cukup sengit, hingga menjadi persoalan hukum ;

b. adanya perubahan peraturan perundangan lain yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan pengadaan barang/jasa, sehingga menuntut adanya perubahan dalam substansi, terminology, prosedur dan tata cara sebagaimana diatur dalam Keppres 80 Tahun 2003.

c. adanya kebijakan belanja pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan negara dalam penyediaan barang/jasa serta menumbuhkembangkan lingkungan usaha khususnya yang berkaitan dengan industri dalam negeri, persaingan usaha dan usaha kecil ;

d. adanya tuntutan penyesuaian terhadap perkembangan lingkungan strategik yang dinamis:
1) Komitmen dalam meningkatkan efektifitas Pinjaman Hibah Luar Negeri (Deklarasi Paris).
2) Peningkatan daya saing nasional.
3) Perkembangan teknologi informasi.

e. adanya perbedaan prosedur pengadaan:
1) Belanja skala besar berbeda dengan belanja skala kecil.
2) Belanja barang habis pakai berbeda dengan belanja barang modal.
3) Belanja barang/jasa khusus (misalnya: alutsista TNI dan Polri, pengadaan di luar negeri, jasa broker keuangan dan lain-lain) ;

f. adanya tuntutan untuk lebih memperjelas substansi dan sistematika pengaturan pengadaan.

Semua permasalahan di atas perlu dicermati dan ditelaah dengan sebaik-baiknya agar pemecahan masalahnya tidak menimbulkan masalah baru yang justru lebih serius. Untuk itu, dalam melakukan revisi Keppres No. 80/2003, LKPP tetap berpedoman pada beberapa prinsip penting yang dianut dalam Keppres 80/2003 tersebut.

Yang pertama adalah mengurangi barrier to entry, yang memberi peluang yang lebih mudah dan lebih terbuka bagi pengusaha. Berbagai persyaratan administrasi yang sebelumnya merepotkan pengusaha ketika akan ikut lelang, seperti menunjukkan akte asli dan surat ijin usaha yang asli, juga dihapuskan.

Yang kedua, mengutamakan metoda pasca-kualifikasi, kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan kompleks dan berteknologi tinggi. Dalam proses ini panitia/pejabat pengadaan bahkan dilarang menambah persyaratan di luar ketentuan Keppres atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Implikasi dari pengutamaan metoda pasca-kualifikasi tersebut adalah memperpendek waktu pelaksanaan tender, menjadi cukup 18 (delapan belas) hari kerja saja untuk pekerjaan sederhana, dengan syarat segala persiapannya telah matang. Dengan waktu pelaksanaan tender yang lebih singkat, maka kegiatan pengadaan akan lebih lancar, dan sebaliknya bagi pengusaha akan lebih bersemangat untuk berpartisipasi, dan akhirnya akan ikut serta menciptakan persaingan yang sehat.

Yang ketiga, menghapuskan segmentasi kewilayahan. Sistem pengadaan yang kita anut sekarang secara tegas melarang adanya kriteria dan persyaratan yang diskriminatif dan tidak obyektif, termasuk yang berdimensi kewilayahan. Persyaratan seperti kewajiban mempunyai rekening di bank daerah setempat, mengharuskan pelaksanaan kepada BUMD setempat, kewajiban membuka kantor perwakilan/cabang di daerah tertentu, kewajiban mempunyai surat ijin tempat usaha (SITU) daerah setempat, dan semacamnya, telah dihapuskan.

Tujuan yang ingin dicapai oleh prinsip tersebut adalah membentuk satu kesatuan pasar, Pasar Indonesia! Dengan demikian pengusaha dari wilayah Banten, misalnya, dapat ikut bersaing dengan pengusaha asal Surabaya untuk pengadaan barang atau jasa di Sumatera Utara. Suasana keterbukaan semacam ini lambat laun akan memaksa para pengusaha untuk meningkatkan daya saingnya, meningkatkan mobilitasnya, yang akhirnya akan membentuk pasar nasional yang sehat pula.

Yang keempat, penyederhanaan segmentasi skala usaha. Pengelompokan usaha yang sebelumnya ada tiga, yaitu usaha kecil, menengah, dan besar, kini disederhanakan menjadi dua kelompok saja, yaitu usaha kecil dan usaha non-kecil. Pembuktian usaha kecil cukup dengan surat ijin usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat.

Pemihakan kepada usaha kecil juga diterapkan melalui aturan tentang pemaketan pekerjaan, dimana paket pekerjaan sampai dengan 1 milyar rupiah diperuntukkan bagi usaha kecil, termasuk koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil termasuk koperasi kecil.

Yang kelima, membatasi keikutsertaan perusahaan asing. Perusahaan asing dapat ikut serta dalam pengadaan barang/jasa dengan nilai di atas 50 milyar rupiah untuk jasa pemborongan, di atas 10 milyar rupiah untuk pengadaan barang/jasa lainnya, dan di atas 5 milyar rupiah untuk jasa konsultansi. Perusahaan asing tersebut harus pula melakukan kerjasama usaha dengan perusahaan nasional dalam bentuk kemitraan, subkontrak, dan lain-lain.

Yang keenam, pengumuman kepada publik secara terbuka. Untuk pelelangan umum yang bernilai di atas 1 milyar rupiah, maka wajib diumumkan secara terbuka di surat kabar nasional dan provinsi, serta diupayakan dimuat di website pengadaan nasional. Sedangkan untuk pelelangan umum yang nilainya di bawah 1 milyar harus diumumkan sekurang-kurangnya di satu surat kabar provinsi yang bersangkutan.

Pengumuman melalui media masa tersebut dimaksudkan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik, sekaligus memberi kesempatan seluas-luasnya bagi pengusaha setempat maupun dari daerah lainnya untuk ikut berpartisipasi. Pada saat yang sama pengumuman tersebut juga membuka ruang publik yang lebar agar masyarakat ikut melakukan social control.

Yang ketujuh, menghapus koridor penawaran terendah terhadap Harga Perkiraan Sendiri (HPS). HPS, yang harus disusun secara cermat dan dapat dipertanggungjawabkan, tetap digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran. Penawaran yang dianggap terlalu rendah (lebih kecil dari 80% HPS) tidak serta merta dapat digugurkan.

Mengapa koridor HPS dihapuskan? Alasan pertama untuk ‘efisiensi’ dengan membuka peluang seluas-luasnya kepada pengusaha untuk bersaing secara ketat melalui penawaran berdasarkan harga riil di pasar setempat. Alasan kedua adalah untuk ‘cross-check’ terhadap akurasi HPS itu sendiri. Dalam hal ini kualitas perhitungan HPS benar-benar akan diuji oleh pasar dalam arti yang sesungguhnya. Dalam keyakinan kami, penghapusan koridor HPS itu sudah tepat. Aturan ini juga dipraktekkan di berbagai negara maju, dan secara empirik terbukti mampu meningkatkan persaingan dan efisiensi. Lantas di mana salahnya?

Kami menyadari bahwa dewasa ini, di beberapa tempat, terjadi fenomena ‘banting-bantingan harga’ yang dikhawatirkan mengancam kualitas pekerjaan. Dalam keyakinan kami ‘banting-bantingan harga’ akan terjadi manakala HPS-nya tidak akurat, atau apalagi over-priced alias mark-up-nya terlalu besar. ‘Banting-bantingan harga’ juga akan terjadi manakala spesifikasi-teknisnya lemah, tidak akurat, tidak rinci, dan tidak jelas, sehingga ditafsirkan berbeda oleh peserta tender yang akhirnya menawar murah.

Yang kedelapan, pengadaan dilakukan oleh pejabat yang kompeten (bersertifikat). Melihat fenomena ‘banting-bantingan harga’ tadi, kami yakin masalahnya justru terletak di Panitia Pengadaan, yang selama ini disinyalir masih lemah dalam penyusunan spesifikasi-teknis dan perhitungan HPS-nya. Kami yakin, apabila seluruh dokumen lelang, spesifikasi-teknis, dan HPS telah dihitung dengan sangat cermat oleh panitia yang kompeten, maka pengusaha pasti akan berpikir dua kali sebelum melakukan ‘banting harga’.

Dengan demikian, prinsip-prinsip di atas mengharuskan kedua belah pihak, yaitu pemerintah cq. Panitia Pengadaan dan Pengusaha sebagai penyedia barang/jasa, untuk sama-sama bersikap correct dan professional. Ini adalah syarat mutlak menuju good governance, sekaligus jalan menuju persaingan usaha yang sehat.

Peserta Mukerda yang saya hormati,

Dari pemaparan di atas, revisi Keppres ini bertujuan untuk melengkapi substansi pengaturan serta memperbaiki struktur dan nomenklatur yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga disesuaikan dengan best practices yang berlaku internasional.
Adanya perubahan terhadap Keppres No. 80 Tahun 2003 diharapkan akan meminimalkan keraguan, perdebatan dan persoalan hukum yang terkait dengan proses pengadaan barang jasa. Perubahan ini juga diharapkan mampu memayungi ketentuan pengadaan barang/jasa dengan ruang lingkup yang lebih luas dari cakupan APBN/APBD, termasuk pengadaan barang/jasa yang pendanaannya berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN).

Beberapa hal yang sedang dilakukan tim revisi Keppres No. 80/2003 adalah :

1. Restrukturisasi dan penyempurnaan substansi pengaturan :
· Ketentuan Umum.
· Barang (termasuk kebutuhan militer).
· Jasa Konstruksi (perencana, pengawas, pelaksana).
· Jasa konsultansi non konstruksi.
· Jasa lainnya seperti jasa keuangan, cleaning service, jasa kesehatan.
· Pengadaan Badan Usaha dalam rangka kerja sama Pemerintah dan Swasta.
· Swakelola.
· Electronic Procurement.

2. Penyempurnaan pengaturan dan redaksional agar lebih tegas dan jelas, antara lain mengenai :
· pengaturan yang bersifat pilihan dan kewajiban.
· Pengaduan, sanggah dan sanggah banding.
· Aturan kondisi kahar.
· Aturan black list.
· Aturan Penyesuaian Harga (Price Adjustment)
· pembentukan Unit Layanan Pengadaan.
· Pelaksanaan pengadaan hibah oleh masyarakat.
· batasan kewenangan administrasi negara, perdata dan pidana menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas indikasi tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.


3. Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada :
· UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
· Permendagri No. 13 Tahun 2006 j.o. No. 59/2007 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
· UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
· UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
· dan lain-lain.

4. Penambahan pengaturan tentang:
· Integrasi procurement plan dalam RKA K/L.
· Penunjukan Pejabat Pembuat Komitmen/Satker dilakukan sebelum pengesahan DIPA.
· E-procurement dan e-shopping.
· Framework Agreement.
· Sistem monitoring dan evaluasi pengadaan.
· Pengembangan profesionalitas para pihak.
· Penyelesaian sanggah (complain resolution) dan pengaduan.
· Distribusi kewenangan dan mekanisme pengawasan instansi terkait.
· Pengembangan sistem pengadaan yang tepat berdasarkan praktek terbaik internasional, termasuk prinsip-prinsip green procurement.


Dalam pembahasan Revisi Keppres No. 80/2003 tersebut, beberapa wacana telah muncul dan menjadi bahan yang perlu didiskusikan :
· Pemisahan tugas yang jelas antara Panitia/Pejabat/Unit Layanan Pengadaan dengan Pejabat Pembuat Komitmen.
· Penghapusan sistem Pelelangan Terbatas dan Pemilihan Langsung.
· Penghapusan KPA untuk Pemerintah Daerah.
· Besarnya nilai pekerjaan dalam Penunjukan Langsung.
· Memperbesar batas nilai kontrak dengan kuitansi.
· Masalah Panitia untuk Komisi dan BUMN/BUMD/BHMN/ BLU serta penerima hibah.

Hadirin yang saya hormati,

Demikianlah pemaparan kami diiringi ucapan terima kasih sekali lagi atas kesempatan yang telah diberikan.

Akhir kata, selamat bermusyawarah, dengan harapan dapat menjaring aspirasi maupun pemikiran baru untuk mendukung terlaksananya good governance maupun penciptaan persaingan usaha yang sehat.

Kami berharap bahwa aspirasi tersebut tidak hanya berguna bagi LPJK Provinsi Sumatera Utara, tetapi juga bermanfaat sebagai masukan bagi kami di LKPP, khususnya dalam revisi Keppres 80/2003.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

1 comment: